Antibiotika
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Antibiotika adalah segolongan moleku, baik alami maupun sintetik, yang mempunyai efek menekan atau menghentikan suatu proses biokimia di dalam organisme, khususnya dalam proses infeksi oleh bakteri. Penggunaan antibiotika khususnya berkaitan dengan pengobatan penyakit infeksi, meskipun dalam bioteknologi dan rekayasa genetika juga digunakan sebagai alat seleksi terhadap mutan atau transforman. Antibiotika bekerja seperti pestisida dengan menekan atau memutus satu mata rantai metabolisme, hanya saja targetnya adalah bakteri. Antibiotika berbeda dengan desinfektan karena cara kerjanya. Desinfektan membunuh kuman dengan menciptakan lingkungan yang tidak wajar bagi kuman untuk hidup.
Tidak seperti perawatan infeksi sebelumnya, yang menggunakan racun seperti strychnine, antibiotika dijuluki "peluru ajaib": obat yang membidik penyakit tanpa melukai tuannya. Antibiotik tidak efektif menangani infeksi akibat virus, jamur, atau nonbakteri lainnya, dan setiap antibiotik sangat beragam keefektifannya dalam melawan berbagai jenis bakteri. Ada antibiotika yang membidik bakteri gram negatif atau gram positif, ada pula yang spektrumnya lebih luas. Keefektifannya juga bergantung pada lokasi infeksi dan kemampuan antibiotik mencapai lokasi tersebut.
Antibiotika oral (yang dimakan) mudah digunakan bila efektif, dan antibiotika intravena (melalui infus) digunakan untuk kasus yang lebih serius. Antibiotika kadang kala dapat digunakan setempat, seperti tetes mata dan salep.
Tidak seperti perawatan infeksi sebelumnya, yang menggunakan racun seperti strychnine, antibiotika dijuluki "peluru ajaib": obat yang membidik penyakit tanpa melukai tuannya. Antibiotik tidak efektif menangani infeksi akibat virus, jamur, atau nonbakteri lainnya, dan setiap antibiotik sangat beragam keefektifannya dalam melawan berbagai jenis bakteri. Ada antibiotika yang membidik bakteri gram negatif atau gram positif, ada pula yang spektrumnya lebih luas. Keefektifannya juga bergantung pada lokasi infeksi dan kemampuan antibiotik mencapai lokasi tersebut.
Antibiotika oral (yang dimakan) mudah digunakan bila efektif, dan antibiotika intravena (melalui infus) digunakan untuk kasus yang lebih serius. Antibiotika kadang kala dapat digunakan setempat, seperti tetes mata dan salep.
Riwayat singkat penemuan antibiotika modern
Penemuan antibiotika terjadi secara 'tidak sengaja' ketika Alexander Fleming, pada tahun 1928, lupa membersihkan sediaan bakteri pada cawan petri dan meninggalkannya di rak cuci sepanjang akhir pekan. Pada hari Senin, ketika cawan petri tersebut akan dibersihkan, ia melihat sebagian kapang telah tumbuh di media dan bagian di sekitar kapang 'bersih' dari bakteri
yang sebelumnya memenuhi media. Karena tertarik dengan kenyataan ini,
ia melakukan penelitian lebih lanjut terhadap kapang tersebut, yang
ternyata adalah Penicillium chrysogenum syn. P. notatum (kapang berwarna biru muda ini mudah ditemukan pada roti yang dibiarkan lembap beberapa hari). Ia lalu mendapat hasil positif dalam pengujian pengaruh ekstrak kapang itu terhadap bakteri koleksinya. Dari ekstrak itu ia diakui menemukan antibiotik alami pertama: penicillin G.
Penemuan efek antibakteri dari Penicillium sebelumnya sudah diketahui oleh peneliti-peneliti dari Institut Pasteur di Perancis pada akhir abad ke-19 namun hasilnya tidak diakui oleh lembaganya sendiri dan tidak dipublikasi.'
Macam-macam antibiotika
Antibiotika dapat digolongkan berdasarkan sasaran kerja senyawa tersebut dan susunan kimiawinya. Ada enam kelompok antibiotika[1] dilihat dari target atau sasaran kerjanya:
- Inhibitor sintesis dinding sel bakteri, mencakup golongan Penisilin, Polipeptida dan Sefalosporin, misalnya ampisilin, penisilin G;
- Inhibitor transkripsi dan replikasi, mencakup golongan Quinolone, misalnya rifampisin, aktinomisin D, asam nalidiksat;
- Inhibitor sintesis protein, mencakup banyak jenis antibiotik, terutama dari golongan Makrolida, Aminoglikosida, dan Tetrasiklin, misalnya gentamisin, kloramfenikol, kanamisin, streptomisin, tetrasiklin, oksitetrasiklin, eritromisin, azitromisin;
- Inhibitor fungsi membran sel, misalnya ionomisin, valinomisin;
- Inhibitor fungsi sel lainnya, seperti golongan sulfa atau sulfonamida, misalnya oligomisin, tunikamisin; dan
- Antimetabolit, misalnya azaserine.
Penggunaan antibiotika
Karena biasanya antibiotika bekerja sangat spesifik pada suatu
proses, mutasi yang mungkin terjadi pada bakteri memungkinkan munculnya strain
bakteri yang 'kebal' terhadap antibiotika. Itulah sebabnya, pemberian
antibiotika biasanya diberikan dalam dosis yang menyebabkan bakteri
segera mati dan dalam jangka waktu yang agak panjang agar mutasi tidak
terjadi. Penggunaan antibiotika yang 'tanggung' hanya membuka peluang
munculnya tipe bakteri yang 'kebal'. Oleh karena itu satu dosis lengkap
atau satu cure antibiotika harus dihabiskan semuanya, walaupun
kadang-kadang baru setengah cure saja tampaknya sudah sembuh. Bakteri
tertentu pada orang tertentu kadang-kadang sulit disembuhkan, karena
bakteri tersebut kadang-kadang sudah mengalami resistensi terhadap beberapa
antibiotika tertentu, oleh karenanya perlu dilakukan Kultur di
Laboratorium Klinik terhadap specimen (air seni, darah, faeces, dahak,
ingus atau secret lainnya) untuk mengetahui jenis bakterinya dan juga
antibiotika apa yang masih mempan terhadap bakteri tersebut. Pada infeksi saluran kemih kadang-kadang dijumpai lebih dari satu bakteri sekaligus.
Pemakaian antibiotika di bidang pertanian sebagai antibakteri umumnya terbatas karena dianggap mahal, namun dalam bioteknologi
pemakaiannya cukup luas untuk menyeleksi sel-sel yang mengandung gen
baru. Praktik penggunaan antibiotika ini dikritik tajam oleh para
aktivis lingkungan karena kekhawatiran akan munculnya hama yang tahan antibiotika.
bahaya antibiotik
Bila kita sakit dan memeriksakan ke dokter, biasaya sering diberi
antibiotik. Obat jenis ini diyakini ampuh melawan penyakit. Karena itu
masyarakat sering mengonsumsinya, baik dengan resep dokter maupun tidak.
Padahal mengon sumsi antibiotik tidak boleh sembarangan.
Layaknya semua obat, antibiotik juga memiliki efek samping.
Karena itu, kata spesialis patologi klinik FKUIRSCM, Tonny Loho,
penggunaannya harus tepat dan bijak.
Misalnya pemberian untuk paru-paru. Ketika diminum antibiotik akan
melewati usus. Akibatnya akan berefek pada flora dalam usus. Mungkin
saja flora di usus ikut mati dan menjadi kebal. Flora ini akan tubuh
menjadi koloni dan tentu akan berefek pada tubuh si pemakai. “Ada saat
dimana antibiotik harus diberikan atau tidak. Hal tersebut tergantung
hasil laboratorium. Pemberian antibiotik terlalu kerap akan membuat
kuman kebal. Setiap antibiotik juga memiliki spesifikasi,” ujarnya.
Menurut Tony, antibiotik adalah segolongan senyawa alami maupun
sintetik yang berefek menekan atau menghentikan proses biokimia dalam
organisme. Khususnya proses infeksi oleh bakteri. Mekanisme ini
memungkinkannya manjur mengobati penyakit. Akibatnya masyarakat maupun
dokter terbiasa menggunakan obat ini. Padahal antibiotik tidak efektif
mengobati penyakit akibat virus, jamur, dan nonbakteri lainnya.
Antibiotik bisa diberikan bila ada tanda-tanda infeksi bakteri.
Gejala tersebut meliputi nyeri, bengkak, kemerahan, atau rasa sakit bila
lokasi infeksi di sekitar sendi. Obat ini sebaiknya tidak diberikan
bila yang muncul adalah radang (inflamasi), alergi, atau akibat virus
misalnya dengue fever.
Antibiotik juga tidak perlu diberikan, bila hasil lab menunjukkan
flora normal, misalnya Esterichia coli nonpatogen pada feses. Kejelian
dokter pada saat pemeriksaan sangat menentukan pemberian antibiotik.
“Hasil lab sifatnya mendukung kejelian pengamatan saat pemeriksaan.
Seorang dokter harus bisa membedakan gejala karena bakteri atau bukan,”
ujar Tonny.
Khusus untuk demam, sarannya, sebaiknya disertai hasil lab untuk
melihat penghitungan jumlah sel darah putih. Tes lab bisa dilakukan di
empat lokasi yaitu pada urine, dahak, darah, dan feses. Antibiotik tidak
bisa diberikan apabila efek samping yang timbul terlalu berat.
Tonny mencontohkan, jenis quinolone yang tidak boleh diberikan pada
wanita hamil, menyusui, bayi, dan anak. Pada wanita hamil pemberian obat
akan menghambat pembentukan inti sel, terutama pada dua minggu pertama
kehamilan.
Akibatnya anak akan terlahir cacat. Quinolone juga menghambat
pembentukan (epiphysis) tulang pada wanita menyusui, bayi dan anak.
Akibatnya anak menjadi pendek, sedangkan pada wanita menyususi ancaman
osteoporosis mengintai.
Apakah antibiotik itu?
Antibiotik merupakan suatu zat yang bisa membunuh atau melemahkan suatu makhluk hidup, yaitu mikro-organisme (jasad renik) seperti bakteri, parasit, atau jamur. Antibiotik tidak dapat membunuh virus sebab virus memang bukan “barang” hidup.
Sementara masih kerap terjadi, dokter dengan mudahnya meresepkan antibiotik untuk bayi dan balita yang hanya sakit flu karena virus. Memang gejala yang menyertai flu kadang membuat orangtua panik, seperti demam, batuk, pilek. Antibiotik yang dianggap sebagai “obat dewa”. Pasien irasional seperti ini seperti menuntut dokter menjadi tukang sihir. Padahal, antibiotik tidak mempercepat, apalagi melumpuhkan, virus flu.
Sejak lahir kita sudah dibekali dengan sistem imunitas yang canggih. Ketika diserang penyakit infeksi, sistem imunitas tubuh terpicu untuk lebih giat lagi. Infeksi karena virus hanya bisa diatasi dengan meningkatkan sistem imunitas tubuh dengan makan baik dan istirahat cukup. Jadi, bukan diberi antibiotik. Antibiotik yang diberi tidak seharusnya kepada anak malah merusak sistem kekebalan tubuhnya. Yang terjadi anak malah turun imunitasnya, lalu sakit lagi. Lalu jika dikasih antibiotik lagi, imunitas turun lagi dan sakit lagi. Terus begitu, dan kunjungan ke dokter makin sering karena anak tambah mudah sakit. Berbagai penelitian juga menunjukkan, pemberian antibiotik pada usia dini akan mencetuskan terjadinya alergi di masa yg akan datang.
Sejak beberapa tahun terakhir, sudah tidak ditemukan lagi antibiotik baru dan lebih kuat. Sementara kuman terus menjadi semakin canggih dan resisten akibat penggunaan antibiotik yang irasional.
Bagaimana cara mengalahkan virus yang semakin ganas bermutasi ??
Solusi untuk masalah tersebut di atas adalah dengan mengkonsumsi Transfer Factor Trifactor atau TF Chewable ( tablet hisap yang disukai anak-anak) yang dapat mendidik sistem Imun menjadi pintar dan meningkatkan system imun sampai 283% sehingga tidak terjadi kasus flu , batuk , pilek berulang karena sudah mengenali virus dan menjaga supaya tidak mengganggu kembali.
Antibiotik merupakan suatu zat yang bisa membunuh atau melemahkan suatu makhluk hidup, yaitu mikro-organisme (jasad renik) seperti bakteri, parasit, atau jamur. Antibiotik tidak dapat membunuh virus sebab virus memang bukan “barang” hidup.
Sementara masih kerap terjadi, dokter dengan mudahnya meresepkan antibiotik untuk bayi dan balita yang hanya sakit flu karena virus. Memang gejala yang menyertai flu kadang membuat orangtua panik, seperti demam, batuk, pilek. Antibiotik yang dianggap sebagai “obat dewa”. Pasien irasional seperti ini seperti menuntut dokter menjadi tukang sihir. Padahal, antibiotik tidak mempercepat, apalagi melumpuhkan, virus flu.
Sejak lahir kita sudah dibekali dengan sistem imunitas yang canggih. Ketika diserang penyakit infeksi, sistem imunitas tubuh terpicu untuk lebih giat lagi. Infeksi karena virus hanya bisa diatasi dengan meningkatkan sistem imunitas tubuh dengan makan baik dan istirahat cukup. Jadi, bukan diberi antibiotik. Antibiotik yang diberi tidak seharusnya kepada anak malah merusak sistem kekebalan tubuhnya. Yang terjadi anak malah turun imunitasnya, lalu sakit lagi. Lalu jika dikasih antibiotik lagi, imunitas turun lagi dan sakit lagi. Terus begitu, dan kunjungan ke dokter makin sering karena anak tambah mudah sakit. Berbagai penelitian juga menunjukkan, pemberian antibiotik pada usia dini akan mencetuskan terjadinya alergi di masa yg akan datang.
Sejak beberapa tahun terakhir, sudah tidak ditemukan lagi antibiotik baru dan lebih kuat. Sementara kuman terus menjadi semakin canggih dan resisten akibat penggunaan antibiotik yang irasional.
Bagaimana cara mengalahkan virus yang semakin ganas bermutasi ??
Solusi untuk masalah tersebut di atas adalah dengan mengkonsumsi Transfer Factor Trifactor atau TF Chewable ( tablet hisap yang disukai anak-anak) yang dapat mendidik sistem Imun menjadi pintar dan meningkatkan system imun sampai 283% sehingga tidak terjadi kasus flu , batuk , pilek berulang karena sudah mengenali virus dan menjaga supaya tidak mengganggu kembali.
Mengapa anak-anak membutuhkan Transfer Factor?
- Anak memiliki sistem imun yg masih lemah dan mudah terserang infeksi yg didapat dari kehidupan sehari-hari dan di sekolah.
- Anak banyak mengkonsumsi makanan yg mengandung kadar gula tinggi dan memiliki asupan rendah terhadap nutrisi yang penting untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuhnya.
- Penggunaan antibiotik yang berlebihan pada anak menyebabkan sistem imun tidak bekerja optimal dan membuat tingkat resistensi bakteri terhadap antibiotik meningkat.
- TF (Transfer Factor) alami,aman,tidak menimbulkan efek samping.
- Menghemat jutaan rupiah dalam pengobatan dan mempercepat proses penyembuhan.
- TF meningkatkan IQ anak dan mencegah infeksi berulang seperti flu,amandel,infeksi telinga.
- TF sudah dibuktikan secara sains selama lebih 50 tahun dan menghasilkan lebih dari 4100 uji klinis oleh para ilmuwan lebih dari 60 negara.
- Transfer Factor aman untuk semua umur, mulai dari bayi umur 1 hari. Aman dikonsumsi tanpa efek samping.
- Balita belum memiliki sistem imun yan sempurna sehingga sangat mudah terserang penyakit.
- Para ibu dapat mengurangi seminimal mungkin penggunaan antibiotik pada BALITA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar